Phinisi, Kapal Legendaris Nusantara asal Sulsel Menautkan Zaman Tradisi dan Modern

Lingkungan Nasional Terkini

Kapal Phisini. Foto : Ist.

BULUKUMBA, KABAR SULSEL– Di pesisir Bulukumba, Sulawesi Selatan, terhampar barisan kayu ulin dan pasak kayu siap dirakit menjadi kapal—bukannya dengan sketsa teknis, melainkan “mengikuti kayunya” (following the wood).

Di sinilah tradisi pembuatan Phinisi dilahirkan,  warisan leluhur yang mengarungi zaman dan samudra, yang pada Desember 2017, UNESCO menetapkan art of boatbuilding in South Sulawesi—yang tak terpisahkan dari teknis rigging pinisi—sebagai Warisan Budaya Takbenda.

Pengakuan ini bukan sekadar simbol; ia juga panggilan untuk menjaga kesenian bahari ini berkelanjutan.

Makna Terselubung di Layar dan Pasak

Tiang layar ganda dan tujuh layar phinisi bukan sekadar instrumen bergerak. Layar yang jumlahnya tujuh dilambangkan sebagai tujuh samudra dan ayat pembuka Al-Fatihah.

Sementara tiang ganda merepresentasikan dua kalimat syahadat. Setiap bagian kapal memuat makna spiritual dan kebanggaan budaya.

Kapal Phinisi tak hanya memiliki makna yang terselubung di layar dan pasaknya, tapi kapal ini dibangun di atas pesisir Bulukumba, Sulsel, para pembuat kapal hanya mengandalkan intuisi, kolaborasi, dan pasak kayu, tanpa paku logam maupun gambaran teknis. Semua komponen saling menyatu dalam harmoni konstruksi manual yang elegan.

Kisah Dunia — Ekspedisi dan Adaptasi Global

Phinisi tak hanya bertahan zaman, mereka menaklukkan samudra. Dari perdagangan rempah hingga pelayaran lintas benua, phinisi pernah menyeberang ke Afrikа dan Amerika.

Bentuk modernnya, seperti Sang Silolona dan Vela, kini menggabungkan pelayaran tradisional dengan kemewahan modern: Wi-Fi, spa, ruang menyelam, dan desain ramah lingkungan.

Komunitas dan Etika Sosial dalam Kerja Bahari

Pembuatan phinisi bukan sekadar kerajinan—ia adalah perilaku sosial yang menyatukan komunitas Bulukumba dalam gotong royong, ritual adat, dan nilai lokal. Prosesnya mencerminkan rasa tanggung jawab kultural, solidaritas, dan pelestarian warisan.

Sayangnya Phinisi yang paling sering dibuat dari kayu bitti (Vitex cofasus) dengan lengkungan alami kini sedang kian langka. Hutan adat di Tana Toa kini menjadi kunci sumber kayu bitti, dan sayangnya, juga menjadi tantangan pelestarian lingkungan di tengah kebutuhan industri kapalnya.

Phinisi Hari Ini, Antara Tradisi dan Pariwisata

Kini, phinisi menjadi ikon wisata legenda Indonesia—melayari kawasan eksotik seperti Komodo dengan sentuhan eco-luxury dan kesadaran budaya. Namun, merekalah warisan yang harus dijaga agar tetap lestari dan tak ternodai oleh komersialisasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *